Deepfake telah mendapatkan popularitas yang luar biasa dalam beberapa tahun terakhir, dan tidak mengherankan mengapa. Deepfake mengacu pada penggunaan teknologi kecerdasan buatan dan pembelajaran mesin yang canggih untuk membuat video, audio, gambar, atau data tekstual (SMS atau konten tertulis). Teknologi ini dapat menghasilkan media yang meniru penampilan dan suara seseorang. 

Maraknya deepfake menghadirkan tantangan dan ancaman yang signifikan terhadap keaslian konten media. Karena teknologi deepfake terus berkembang hingga mencapai titik di mana tidak ada yang bisa mendeteksi apa yang asli atau yang dihasilkan oleh kecerdasan buatan (AI).

Lalu bagaimana deepfake dibuat? Metode yang paling umum untuk membuat deepfake melibatkan penggunaan machine learning, khususnya generative adversarial networks (GAN). Deepfake adalah bentuk media sintetis yang dibuat menggunakan algoritme AI, yang memanipulasi dan mengubah gambar atau video yang sudah ada untuk menggambarkan kemiripan dengan orang lain secara meyakinkan. 

Dua jaringan saraf, yang dikenal sebagai generator dan diskriminator, diadu satu sama lain dalam proses pelatihan yang kompetitif. Tugas generator adalah menghasilkan data palsu yang sangat mirip dengan kumpulan data asli, sedangkan tugas diskriminator adalah mengidentifikasi data palsu. Dengan setiap iterasi, jaringan generator menyesuaikan diri untuk menciptakan data yang semakin realistis, berlanjut hingga diskriminator tidak dapat lagi membedakan antara informasi asli dan palsu.

Pada awalnya tujuan utama pengembangan teknologi deepfake bukanlah untuk tujuan jahat, melainkan sebagai alat untuk mengubah video secara kreatif dan menghibur, bukan dengan niat melakukan tindakan kriminal. 

Namun kemampuan untuk memanipulasi video dengan cara yang sulit dideteksi memiliki potensi penyalahgunaan dan bahaya. Video deepfake dapat digunakan untuk menyebarkan informasi yang salah, mencemarkan nama baik seseorang, atau bahkan menciptakan situasi yang membahayakan.

Hasil survei yang dirilis pada bulan Agustus menemukan bahwa 66% profesional keamanan siber yang disurvei telah melihat deepfakes digunakan sebagai bagian dari cyberattack. Angka tersebut meningkat 13% dari tahun ke tahun, kata VMware dalam Global Incident Response Threat Report tahunan kedelapannya. Email merupakan metode pengiriman yang digunakan dalam 78% serangan tersebut.

Laporan VMware tersebut menggemakan peringatan yang dikeluarkan selama beberapa tahun terakhir oleh FBI dan Crime Complaint Center (IC3), yang mendesak organisasi untuk mempelajari metode serangan deepfake. Dengan semakin banyaknya perusahaan yang menggunakan solusi virtual untuk melakukan pekerjaan jarak jauh, menjadi lebih rentan terhadap jenis kejahatan ini.

Bebersapa kisah terbaru tentang penjahat yang menggunakan deepfakes meliputi:

  • Penipu membuat hologram palsu dari kepala komunikasi mata uang kripto yang mereka gunakan dalam panggilan Zoom untuk mengelabui eksekutif mata uang kripto agar mengungkapkan informasi rahasia.
  • Kloning suara secara real-time memungkinkan para penjahat untuk meniru suara direktur bank Dubai dan menipu manajer bank Hong Kong untuk mentransfer $35 juta ke organisasi penjahat. Suara palsu tersebut terdengar sangat nyata sehingga manajer tersebut “mengenalinya” di telepon.
  • Sebuah organisasi mengira bahwa mereka mempekerjakan karyawan jarak jauh untuk memberikan dukungan teknis. Sebaliknya, mereka mempekerjakan penjahat yang menciptakan persona palsu menggunakan teknologi deepfake dan mencuri informasi pribadi yang dapat diidentifikasi dengan maksud untuk mendapatkan akses ke jaringan dan data perusahaan.
  • Peretas mengirimkan pesan suara palsu yang meniru suara CEO yang meminta karyawan perusahaan dan pemasok eksternal untuk berkontribusi dalam kegiatan amal/bantuan bencana atau melakukan investasi melalui situs web palsu yang malah menyalurkan dana ke rekening luar negeri.

Saat ini, berbagai upaya sedang dilakukan untuk mengatasi potensi ancaman yang disebabkan oleh teknologi deepfake yang berbahaya. Penelitian yang telah dilakukan, seperti yang dilaporkan oleh Ekraam Sabir dan rekan-rekannya, telah menunjukkan kemajuan dalam upaya pendeteksian deepfake. Selain itu, perusahaan teknologi seperti Google dan mitra-mitranya turut aktif terlibat dalam upaya ini dengan menyediakan akses ke kumpulan data video deepfake yang terus diperbarui, yang dibuka untuk digunakan oleh komunitas dalam mengembangkan solusi deteksi deepfake.
Penting untuk diingat bahwa sementara teknologi deepfake memberikan peluang positif, juga menjadi tantangan serius bagi keamanan dunia maya. Baik pemilik bisnis maupun individu harus meningkatkan kewaspadaan terhadap potensi ancaman yang mungkin timbul dari penggunaan deepfake. Ancaman ini tidak hanya terbatas pada penyebaran berita palsu, tetapi juga dapat digunakan sebagai alat jahat oleh para pelaku kejahatan siber.

Penulis: Gadis Syahrani Elhakim

Sumber:

medium.com

aicpa-cima.com

hitachi-systems-security.com

Divisi Komunikasi dan Informasi

Himpunan Mahasiswa Sistem Informasi

Universitas Tanjungpura 2022/2023


0 Komentar

Tinggalkan Balasan

Avatar placeholder

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *