Di tengah upaya digitalisasi nasional dan peningkatan pendapatan negara, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Indonesia meluncurkan Coretax Administration System (CTAS) sebagai sistem inti baru untuk administrasi perpajakan. Sistem ini merupakan bagian dari Proyek Pembaruan Sistem Inti Administrasi Perpajakan (PSIAP), sebuah inisiatif strategis yang mulai dirancang sejak tahun 2018. Coretax digadang-gadang menjadi tulang punggung baru pelayanan perpajakan berbasis digital yang terintegrasi, efisien, dan transparan.

Namun, dibalik ambisi besar tersebut, peluncuran Coretax pada akhir 2024 justru diwarnai berbagai kendala teknis dan kritik tajam dari masyarakat maupun pelaku usaha. Simak artikel berikut untuk mengetahui apa permasalahan Coretax hingga langkah dan harapan kedepannya!

Latar Belakang Kemunculan Coretax

Dorongan untuk memperbarui sistem perpajakan Indonesia bukan tanpa alasan. Rasio pajak Indonesia selama bertahun-tahun masih tergolong rendah dibandingkan negara-negara lain di kawasan. World Bank mencatat bahwa peningkatan rasio pajak Indonesia ke level optimal bisa menambah penerimaan negara hingga Rp1.500 triliun per tahun.

Melalui Peraturan Presiden No. 40 Tahun 2018, pemerintah menetapkan PSIAP sebagai proyek strategis nasional. Tujuannya: menggantikan sistem lama (SIDJP) yang sudah tidak relevan dengan tuntutan digitalisasi dan integrasi data. Dengan menggandeng konsultan global seperti Deloitte, LG CNS (Korea Selatan) sebagai penyedia sistem inti, dan Qualysoft (Austria) untuk integrasi sistem, proyek ini menyerap anggaran sekitar Rp1,2 triliun.

Peluncuran dan Fitur Coretax

Setelah fase pengembangan panjang, Coretax resmi mulai digunakan publik pada Desember 2024 dan diwajibkan secara penuh per Januari 2025. Portalnya dapat diakses melalui coretaxdjp.pajak.go.id, dengan sistem yang mengintegrasikan seluruh layanan perpajakan seperti:

  • e-Faktur, e-Bupot, e-Billing, e-Filing
  • Tax Deposit (dompet pajak digital)
  • Prepopulated Tax Return (formulir otomatis)
  • Tax General Ledger
  • Akses berbasis NIK, NPWP, dan NITKU
  • Tampilan dan fitur omnichannel untuk semua jenis wajib pajak

Coretax disebut sebagai platform all-in-one yang akan mempermudah wajib pajak dalam memenuhi kewajiban dan hak perpajakannya secara digital.

Masalah dan Polemik Setelah Peluncuran

Sayangnya, peluncuran sistem ini tidak berjalan mulus. Berbagai kendala muncul di awal implementasi, yang kemudian menjadi sorotan publik dan media.

Gangguan Sistem dan Lambatnya Akses

Wajib pajak menghadapi error saat login, layanan lambat, serta kesulitan dalam mengunggah dan mengunduh dokumen. Di hari-hari awal, sistem bahkan sempat crash total, mengakibatkan antrian panjang di Kantor Pelayanan Pajak karena wajib pajak kembali melakukan pelayanan secara manual.

Kekacauan Faktur Pajak dan NIK–NPWP

Banyak pengusaha kesulitan membuat faktur pajak elektronik karena sinkronisasi data yang bermasalah. Peralihan dari NPWP ke NIK juga menyebabkan error pada validasi dan pelaporan.

Dampak ke Dunia Usaha

Pelaku usaha, khususnya perusahaan menengah, mengeluhkan kerugian operasional akibat faktur tidak dapat diterbitkan tepat waktu. Beberapa bahkan menyatakan sistem diluncurkan terlalu tergesa tanpa kesiapan infrastruktur.

Dualisme Sistem dan Kelonggaran Sementara

Merespons tekanan publik, DJP mengizinkan penggunaan paralel antara sistem lama dan Coretax hingga pertengahan 2025. Kebijakan ini dilakukan agar wajib pajak tidak terkena denda akibat keterlambatan pelaporan yang disebabkan oleh masalah sistem.

Beberapa keterangan permasalahan yang dihadapi Coretax selama peluncurannya hingga sekarang adalah sebagai berikut.

  1. ‘Big Bang’ Deployment yang Terburu-buru. Peluncuran penuh tanpa fase pilot menyebabkan beban akses masif di hari pertama. Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) menyebut implementasi Coretax “terlalu tergesa” dan tak mempertimbangkan kesiapan infrastruktur maupun kesiapan pengguna.
  2. Gangguan Teknis & Fluktuasi Kapasitas
    • Crash dan Error: Sistem kerap hang, gagal login, dan crash total pada pekan pertama, memaksa wajib pajak kembali antre manual di KPP.
    • Latensi Tinggi: Awalnya, login memakan waktu rata-rata 4,1 detik dan pembuatan faktur 10 detik.
  3. Masalah Sinkronisasi Data
    • Transisi dari NPWP ke NIK menyebabkan validasi data gagal sinkron hingga faktur elektronik dan SPT tidak dapat diterbitkan.
    • Ratusan keluhan masuk via media sosial dan hotline “Kring Pajak 1500 200” hanya dalam tiga hari pertama.
  4. Dampak pada Dunia Usaha
    • Diperkirakan penerimaan pajak Januari–Februari 2025 turun ~30% (dari Rp 187,8 triliun menjadi Rp 130–140 triliun) karena hambatan operasional.
    • UMKM dan perusahaan menengah melaporkan kerugian bisnis akibat tertundanya penerbitan faktur dan pelaporan SPT.
  5. Kebutuhan Sosialisasi dan Pelatihan Sosialisasi pengguna terbatas, dokumentasi teknis terlambat dipublikasikan, dan pelatihan operator KPP belum tersebar merata. Bahkan pengguna dibutuhkan untuk melakukan pengkodean sendiri pada sistem untuk mengoperasikan aplikasi.

Respons Pemerintah dan DJP

Menanggapi berbagai kendala yang muncul setelah peluncuran Coretax, DJP bergerak cepat dengan mengeluarkan pernyataan resmi. Dalam keterangan tertulisnya, DJP menyampaikan permohonan maaf kepada masyarakat dan para pelaku usaha atas gangguan layanan yang terjadi. Mereka juga menjelaskan secara terbuka berbagai langkah pemulihan yang tengah dilakukan, terutama terkait perbaikan proses login, pendaftaran NPWP berbasis NIK, pengiriman OTP, hingga penerbitan faktur pajak.

Sebagai bentuk tanggung jawab, DJP membebaskan sanksi administratif atas keterlambatan pelaporan untuk periode Januari hingga Maret 2025. Tidak hanya itu, sistem lama (SIDJP) juga diaktifkan kembali untuk berjalan secara paralel, agar wajib pajak masih memiliki alternatif layanan selama masa transisi berlangsung.

Di sisi teknis, DJP melakukan penguatan infrastruktur dengan menambah bandwidth, memperbanyak klaster server, dan menerapkan sistem load balancing yang lebih efisien. Hasilnya cukup signifikan: waktu login menurun drastis menjadi hanya 0,08 detik, registrasi NPWP berbasis NIK hanya membutuhkan 0,045 detik, dan pembuatan faktur dapat diselesaikan dalam 1,46 detik. Ini menjadi tonggak penting dalam pemulihan kepercayaan pengguna terhadap sistem baru ini.

Selain aspek teknis, DJP juga menyempurnakan proses bisnis internal. Hingga Maret 2025, sebanyak 21 proses bisnis inti telah diperbaiki, termasuk modul business intelligence, knowledge management, serta integrasi dengan data dari pihak ketiga. Untuk menjaga transparansi dan akuntabilitas, DJP membuka ruang dialog rutin dengan pelaku usaha seperti Apindo, Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI), dan asosiasi terkait lainnya. Bahkan, Komisi XI DPR turut turun tangan dengan meminta laporan anggaran proyek yang menelan dana sekitar Rp 1,2 triliun, sekaligus mendorong evaluasi terhadap para vendor pelaksana.

Kondisi Terkini dari Perkembangan Coretax

Memasuki April 2025, kondisi sistem Coretax mulai menunjukkan stabilitas yang konsisten. Gangguan besar tak lagi ditemukan, dan latensi yang sebelumnya tinggi kini turun menjadi minimal dan relatif stabil. Hal ini berdampak positif terhadap aktivitas pelaporan dan transaksi perpajakan secara nasional.

Dari sisi volume transaksi, Coretax telah memproses sekitar 199 juta dokumen faktur pajak, 70,7 juta bukti potong PPh, serta lebih dari 933 ribu SPT PPN/PPnBM dan 997 ribu SPT Masa PPh Pasal 21/26 sejak awal tahun. Capaian ini mengindikasikan bahwa sistem sudah mampu menangani beban operasional secara massal.

Meski demikian, tidak semua proses bisnis telah rampung. Masih terdapat tiga proses yang belum terselesaikan sepenuhnya, yakni modul data analytics, integrasi manajemen sumber daya manusia (human capital), dan integrasi kelembagaan dengan institusi lain. Ketiganya ditargetkan tuntas pada Juli 2025.

Harapan & Langkah Ke Depan

Ke depan, prioritas utama DJP adalah menyelesaikan tiga proses bisnis yang tertinggal serta melakukan stress test untuk memastikan sistem siap menghadapi beban maksimal. Roadmap transisi publik juga perlu dipublikasikan secara jelas, mulai dari migrasi data lama, jadwal go-live penuh, hingga penyesuaian sistem untuk pelaporan tahun pajak 2025.

Langkah penting lainnya adalah penguatan edukasi melalui program sertifikasi berbasis kompetensi bagi operator di Kantor Pelayanan Pajak (KPP), serta penyediaan modul e-learning untuk masyarakat luas. Hal ini diharapkan dapat meningkatkan literasi teknologi perpajakan dan memperlancar adopsi sistem baru.

Dari sisi tata kelola, DJP berkomitmen melaksanakan audit eksternal secara independen untuk meninjau pengadaan vendor dan manajemen perubahan sistem. Dalam jangka menengah, pengembangan fitur lanjutan juga akan menjadi fokus utama, termasuk integrasi data eksternal (seperti data dari Bea Cukai, informasi kepemilikan aset, dan transaksi perdagangan), serta penyempurnaan dashboard business intelligence yang lebih analitis dan real-time.

Penutup: Potensi Besar di Balik Permasalahan Awal

Coretax adalah langkah ambisius dalam digitalisasi administrasi pajak Indonesia. Meski mengalami sorotan tajam akibat kendala teknis, dampak operasional, dan sorotan publik, langkah-langkah korektif telah diambil oleh DJP, dan pemantauan dari DPR serta pihak eksternal tetap berlangsung.Keberhasilan Coretax tergantung pada empat hal utama: infrastruktur yang andal, roadmap transisi bertahap, dukungan pengguna (edukasi), dan pengawasan transparan. Jika semua terpenuhi, Coretax memiliki potensi untuk merevolusi sistem pajak nasional, meningkatkan kepatuhan, dan menjadi contoh digitalisasi di negara berkembang lainnya.

Divisi Komunikasi dan Infomasi

Himpunan Mahasiswa Sistem Informasi Universitas Tanjungpura 2024/2025


0 Komentar

Tinggalkan Balasan

Avatar placeholder

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *