Industri game modern saat ini sedang menjadi pembahasan yang menarik banyak penikmat video game. Industri game sedang dalam persimpangan. Di satu sisi ada game premium: kamu bayar sekali, lalu menikmatinya secara penuh. Di sisi lain ada game live service: gratis, tapi diisi penuh dengan battle pass, loot box, dan event musiman yang menguras waktu serta dapat membuat dompet sering berkeringat.
Pertanyaannya: model bisnis mana yang lebih menguntungkan? Premium yang klasik atau live service yang modern dan agresif?

Model live service sering dianggap sebagai “mesin uang” industri modern. Contohnya, Fortnite — game gratis yang pernah viral — dalam dua tahun pertama mampu meraup lebih dari US$9 miliar atau setara dengan Rp 148,2 triliun, hanya dari penjualan kosmetik dan battle pass.
Electronic Arts, salah satu developer tradisional, bahkan sudah berubah total. Dari yang sebelumnya pendapatannya didominasi oleh game premium, kini sekitar 73% pendapatan tahunannya berasal dari game live service, terutama dari mode Ultimate Team di seri FIFA (yang kini berganti nama menjadi EA Sports FC). Sementara itu, game mobile seperti Candy Crush masih mampu mendatangkan sekitar US$1 miliar atau setara dengan Rp 16,6 triliun per tahun, meski usianya sudah lebih dari satu dekade.
Live service bekerja seperti sebuah mal yang tidak pernah tutup. Selalu saja ada yang baru: konten tambahan, event spesial, hingga kolaborasi unik, agar pemain tetap aktif dan terus mengeluarkan uang.
Namun, di balik cerita-cerita manis tersebut, tidak semua produk live service berakhir bahagia. Pasar ini bersifat winner takes most: hanya sedikit judul yang mampu bertahan, sementara yang lain gulung tikar. Contohnya, Sony harus menunda sebagian proyek live service-nya karena ternyata tidak semudah yang dibayangkan.

Nah, walaupun begitu, jangan kira game premium telah kalah pamor. Grand Theft Auto V telah terjual lebih dari 210 juta kopi, menjadikannya salah satu game terlaris sepanjang masa. Elden Ring sukses menembus 30 juta unit, ditambah ekspansi Shadow of the Erdtree yang langsung laku 5 juta kopi hanya dalam 3 hari. Sementara itu, Baldur’s Gate 3 menjadi contoh sukses modern dengan lebih dari 10 juta penjualan, tanpa sistem monetisasi agresif.
Kelebihan dari game premium ada pada arus kas yang jelas: pemain bayar sekali di depan, developer langsung mendapat pemasukan. Biaya pascarilis juga relatif lebih rendah dibanding live service. Tidak perlu update mingguan, event, atau server aktif setiap saat.
Tapi, model premium juga mempunyai sisi gelapnya sendiri, yaitu biaya pengembangan yang luar biasa tinggi. Angkanya bisa mencapai US$200 juta lebih. Jika game gagal pada saat rilis, studio bisa saja tutup.

Dapat kita tarik kesimpulan bahwa kedua model sama-sama berisiko.
Game live service membutuhkan tim pengembang yang besar serta harus melakukan update secara rutin. Server juga harus selalu stabil. Jika pemain pergi, game bisa cepat mati. Ditambah lagi, regulasi terkait loot box bisa menjadi masalah, seperti yang sudah terjadi di Amerika.
Sementara itu, game premium harus bertaruh besar di awal. Modal pengembangannya sangat tinggi, dan jika gagal saat rilis, studio bisa saja tutup.

–https://www.shacknews.com/article/138525/ea-q3-2024-earnings-live-service
–https://www.gamedeveloper.com/business/why-aaa-game-development-costs-keep-rising
Divisi Komunikasi dan Informasi
Himpunan Mahasiswa Sistem Informasi
Universitas Tanjungpura 2025/2026
0 Komentar