Di era yang serba digital ini, fenomena doomscrolling telah menjadi salah satu isu sosial yang cukup mengkhawatirkan. Doomscrolling atau kebiasaan menghabiskan waktu secara berlebihan untuk membaca berita buruk dan konten negatif di media sosial kini semakin menjamur. Istilah yang muncul pada tahun 2020 saat pandemi COVID-19 ini menggambarkan perilaku obsesif pengguna media sosial yang terus-menerus menggulir timeline mereka untuk mencari informasi negatif. Yang bikin makin ngeri, rata-rata orang Amerika menghabiskan hampir 2,5 jam per hari di media sosial, dan sebagian besar waktu itu digunakan untuk doomscrolling. Fenomena ini bukan cuma sekadar kebiasaan buruk biasa, tapi udah jadi masalah sosial yang serius karena dampaknya terhadap kesehatan mental masyarakat.

Algoritma media sosial memainkan peran krusial dalam memperparah kebiasaan doomscrolling. Algoritma ini dirancang untuk menyajikan konten yang relevan dengan minat pengguna berdasarkan data interaksi sebelumnya, seperti likes, komentar, dan jenis konten yang sering ditonton. Masalahnya, ketika kita mulai doomscrolling, algoritma justru menampilkan lebih banyak berita negatif karena sistem ini menganggap kita tertarik dengan konten tersebut. Platform media sosial menggunakan berbagai jenis algoritma, mulai dari algoritma penyaringan konten, algoritma rekomendasi, hingga algoritma pengurutan yang semuanya berkontribusi menciptakan infinite scrolling. Desain platform digital ini memang sengaja dibuat untuk mempertahankan perhatian pengguna selama mungkin. Hasilnya? Kita terjebak dalam filter bubble yang membuat kita hanya terpapar informasi negatif terus-menerus.

Secara psikologis, doomscrolling sebenarnya berasal dari naluri manusia yang wajar untuk mencari informasi tentang potensi ancaman di sekitar kita. Perilaku ini muncul dari keinginan untuk memahami dan mengatasi situasi di dunia sekitar, mirip seperti mekanisme pertahanan diri. Doomscrolling juga bisa jadi respons terhadap confirmation bias kita – ketika merasa dunia ini berbahaya, membaca berita negatif justru memperkuat keyakinan tersebut. Buat sebagian orang, kebiasaan ini juga muncul dari perasaan bahwa mereka harus “menyaksikan” penderitaan orang lain sebagai bentuk empati. Yang bikin makin stuck, ketakutan akan FOMO (Fear of Missing Out) membuat kita merasa harus terus update dengan semua informasi yang beredar. Sayangnya, yang tadinya upaya untuk merasa aman dan terkendali, malah berubah jadi candu yang sulit dihentikan.

Dampak Riset dan Ancaman Kesehatan Mental

Frustrated young man having stressed facial expression, keeping hand on his head, holding cell phone, reading bad news or receiving spam message. Negative human emotions and electronic gadgets

Penelitian ilmiah telah membuktikan dampak serius dari doomscrolling terhadap masyarakat. Studi yang dilakukan oleh Reza Shabahang dari Flinders University melibatkan 800 mahasiswa dari Iran dan Amerika Serikat menunjukkan bahwa doomscrolling berkaitan erat dengan kekhawatiran eksistensial tentang kehidupan dan kematian. Hasil penelitian ini mengungkap bahwa paparan berlebihan terhadap informasi negatif dapat mengancam keyakinan seseorang tentang kontrol hidup mereka. Yang lebih memprihatinkan, fenomena ini juga muncul sebagai indikator rasa tidak suka terhadap orang lain, terutama di kalangan mahasiswa Iran. Gen Z menjadi kelompok yang paling rentan karena mereka tumbuh di era digital dengan akses informasi yang sangat mudah melalui platform seperti TikTok, Instagram, dan X. Penelitian ini juga memperlihatkan bahwa konsumsi informasi negatif berlebihan dapat menyebabkan trauma sekunder, di mana seseorang mengalami dampak psikologis negatif meski tidak mengalami langsung peristiwa traumatis tersebut.

Dampak doomscrolling terhadap kesehatan mental dan fabric sosial sangatlah mengkhawatirkan. Kebiasaan ini terbukti meningkatkan tingkat stres, kecemasan, dan depresi, serta mengurangi kebahagiaan dan kepuasan hidup. Doomscrolling juga mengganggu fokus dan kualitas tidur, terutama ketika dilakukan sebelum tidur karena paparan cahaya biru dari layar menghambat produksi melatonin. Yang lebih parah, kebiasaan ini dapat memperburuk kondisi kesehatan mental yang sudah ada sebelumnya dan bahkan memicu episode depresi atau serangan panik. Dari sisi sosial, doomscrolling berkontribusi pada pembentukan echo chamber yang membatasi keragaman perspektif dan berpotensi memperkuat polarisasi di masyarakat. Dampak jangka panjangnya bisa berupa penurunan produktivitas, meningkatnya sikap pesimis, dan hilangnya kemampuan untuk memproses situasi secara rasional.

Solusi dan Strategi Menghadapi Era Digital yang Sehat

Menghadapi tantangan era digital ini, kita perlu mengambil langkah konkret untuk memutus siklus doomscrolling. Sebagai digital natives, Gen Z dan masyarakat secara umum harus lebih aware dengan kurasi konten media sosial mereka dengan berhenti mengikuti akun yang cenderung menyebarkan informasi negatif berlebihan. Penting juga untuk membatasi waktu layar menggunakan aplikasi pengatur waktu dan secara aktif berinteraksi dengan berbagai jenis konten untuk menghindari filter bubble. Platform media sosial juga perlu lebih bertanggung jawab dalam mengatasi kekhawatiran terkait algoritma mereka, seperti menambahkan opsi tampilan berdasarkan waktu posting alih-alih algoritma. Pada akhirnya, kesadaran kolektif tentang bahaya doomscrolling dan upaya bersama untuk menciptakan ekosistem digital yang lebih sehat adalah kunci untuk mengatasi krisis kesehatan mental di era digital ini. Mari kita jadi generasi yang cerdas dalam mengonsumsi konten digital dan tidak membiarkan algoritma mengendalikan kesehatan mental kita.

Divisi Komunikasi dan Infomasi

Himpunan Mahasiswa Sistem Informasi Universitas Tanjungpura 2024/2025


Administrator

HMSI (Himpunan Mahasiswa Sistem Informasi) Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Tanjungpura

0 Komentar

Tinggalkan Balasan

Avatar placeholder

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *